Oleh Joni MN

Ketua PKBKP INISNU Temanggung 

Ethic dan Emic. Merupakan dua istilah yang jarang muncul di dalam formulasi dan dalam pemecahan formulasi pembahasan untuk mendekatkan dan mengintegrasikan nilai-nilai umum dengan norma-norma kearifan lokal setempat. Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya. Etic menjelaskan ke-umuman dari sebuah konsep kehidupan, sedangkan Emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya (Matsumoto, 19996).

Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologi yang dikembangkan oleh pike (1967), dalam Segall, 1990), istilah-istilah ini berasal dari kajian antropologi bahasa, yaitu Phonemix atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau universal pada semua budaya. Selanjutnya Pike menggunakan istilah Emic dan Ethic untuk menjelaskan dua sudut pandang (point of view) dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Ethic sebagai titik pandang dalam mempelajari budaya dari luar system budaya tersebut, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu system budaya tersebut, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem yang asing. Sedangkan Emic sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dan dalam system budaya tersebut (Segall, 1990).

Proses mendidik di dalam lembaga Pendidikan baik formal maupun non formal ataukah informal, pemahaman nilai-nilai yang bersifat prinsip dan nilai yang membangun kekuatan ideologi yang bersifat subjektivitas dan objektivitas sangat penting dibangun secara bersamaan dan sangat penting untuk diperhatikan selanjutnya diperdalam. Tujuannya agar dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam sistem dan praktik pendidikan secara permanen. Hal ini sangat diharapkan untuk dapat direalisasikan ke dalam dunia pendidikan dengan maksimal, agar para peserta didik sebagai generasi penerus jaman-jaman berikut akan dapat merawat alam, hutan dan lingkungan kemudian dapat hidup tentram, nyaman, damai dan harmonis dengan sesama anggota masyarakat lainnya, cukup tragedi dan musibah kebelakangan ini jadi pengalaman, terjadinya degradasi nilai dan hancurnya norma keberadaban antara sesama anggota masyarakat terjadi begitu saja tanpa ada batas dan sepertinya sulit dihentikan. 

Perpaduan kedua unsur ini sangat berpengaruh dan berdampak jika merasuk ke dalam diri masing-masing individu pelajar, mereka akan lebih mengerti akan diri mereka sendiri serta bagaimana mereka melaksanakan kehidupan bersama dengan tidak menimbulkan perpecahan dan pendeskriditan antar sesama, selanjutnya mereka juga akan lebih mengerti, apa yang hendak lakukan dan bagaimana melakukannya dengan tidak merusak, serta mereka lebih pinter dan tertib dalam bermasyarakat dan dalam menjalani hidup bersama.

Dalam memproses norma dan nilai-nilai yang ada di sekeliling kita menjadi suatu nilai yang terintegrasi ke dalam diri pribadi masing-masing peserta didik dan anggota masyarakat lainnya kedua paradigma ini memiliki kekhasan masing-masing dan memiliki pendekatan yang meliputi dua dimensi, yakni (1) berdasarkan sudut pandang budaya dan (2) berdasarkan pendekatan keilmuan. Proses pendekatan keilmuan yang dapat melengkapi jalannya proses implementasinya, yakni jika dikenalkan dengan Istilah melalui kajian proses/ praktisis dan paradigmatis, maka kedua kajian ini dapat disebut dengan terminology kemutlakan dan mutlak kemudian ke-relatifan dan relatif.   

Tegasnya jika kedua pendekatan ini diintegrasikan ke dalam pendidikan targetnya lebih kepada penyadaran diri dan penerapan moral kepada diri individu peserta didik dan pendidik itu sendiri. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendekatan emik berusaha memahami perilaku individu atau masyarakat dari sudut pandang si pelaku sendiri dan individu sasaran atau anggota masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Pendekatan Etik menganalisa perilaku atau gejala sosial dari pandangan orang luar serta membandingkannya dengan budaya lain. 

Dengan demikian untuk menemukan kebenaran yang jelas tentang kualitas peserta didik terutama bidang akhlaq, perlu adanya analisa dengan pendekatan etik karena lebih bersifat lebih objektif, yang mana data-data yang hendak dianalisa ini bersumber objektivitas masyarakat lingkungan sekitar atau melibatkan aparat kampung setempat dalam pengawasannya. Sehingga hasil dari analisa dapat terukur dengan ukuran dan indikator tertentu, kemudian, untuk tugas penyadaran dan pemaparan atas temuan pendekatan emik lebih efektif karena lebih subjektivitas dan fungsionaris pendekatan banyak menggunakan kata-kata atau bahasa dalam menggambarkan perasaan individu yang menjadi obyek studi, jadi peran kuantitas dan kualitas dalam proses pembangunan kualitas peserta didik kedua hal tersebut adalah dibutuhkan.

Pendekatan etic (pendekatan keilmuan) cenderung menggunakan penilaian dari pengamat dalam konteks ini adalah masyarakat sekitar. dengan cara ini orang tua dan para pendidik lebih mengetahui budaya peserta didik di luar rumah atau di luar sekolah. Dalam proses ini mengukur budaya yang bersangkutan lebih menggunakan fakta di lapangan yang disadari dan dianggap penting untuk dibenahi bagi orang tua dan para pendidik. Dalam proses pembenahan kualitas peserta didik ini lebih masuk kepada kualitas penyadaran terlebih dahulu karena hal tersebut merupakan tonggak dasar di dalam pembangunan kualitas intelektualitas mereka, maka hal ini lebih tepat menggunakan kearifan yang sudah melekat pada diri indevidu masing-masing, yakni norma-norma adat mereka dan agama yang mereka yakini, umumnya dengan pendekatan konsep Islami. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep emik merupakan pendekatan dengan menggunakan konsep norma adat yang dibudayakan dan pendekatan keilmuannya atau pendekatan etik adalah suatu pendekatan yang menggunakan konsep islami. 

Pendekatan berdasarkan sudut pandang budaya (Emic Persfective) dan berdasarkan pendekatan keilmuan (Etic Persfective) keduanya benar dan keduanya harus berjalan beriringan bergandengan bersama, inilah yang dimaksud oleh suku Gayo dalam Peri Mestike mereka (falsafah hidup) mereka dengan sebutan “Eddet orum Ukum lagu zet orum sipet” yakni ‘adat dengan hokum (Agama) tidak dapat saling terpisahkan keterkaitannya bak hubungan zat dengan sipat’, kesimpulannya satu sama lainya tidak terpisahkan harus berjalan beriringan tidak satu pun dapat ditinggalkan, jika tertinggal maka hasilnya akan cacat dan kurang. 

Tidak akan berimbang jika hanya diterapkan dengan satu pendekatan saja dalam dunia pendidikan, yakni antara premis subjektivitas atau objektivitas saja. Kedua pendekatan ini sangat penting diterapkan di dalam pendidikan apabila kita ingin pendidikan kita berkualitas moral yang berakhlak mulia, karena jika ditilik berdasarkan hasil penelitian para sarjana-sarjana di bidang sosial dan kebahasaan bahwa Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya. Etic menjelaskan universalitas sebuah konsep kehidupan sedangkan Emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya (Matsumoto, 19996).

Sebaliknya, sebuah perilaku atau nilai yang ada hanya ditemukan pada satu budaya dan benar hanya pada budaya tersebut, dalam studi psikologi lintas budaya tersebut saja. Contohnya adalah ritual penyerahan murid ku tengku guru dengan penyerahan Pulut kuning yang berlapiskan kelapa, jarum yang ditusukan ke induknya kunyit, alat pesejuk atau penawaran yang berasal dari jenis tumbuhan rerumputan dam sebilah rotan kecil, ini adalah satu perilaku Emic yang khas dan benar hanya pada adat dan budaya Gayo saja. Contoh lain adalah masalah pernikahan (sinte mungerje), mengukuhkan pemangku adat, memandikan raja, ataupun ritual-ritual lainnya. 

Tidak heran lagi pada dasarnya setiap budaya memiliki pandangan masing-masing dan hal ini dapat dilihat dari peristiwa pelaksanaan norma adat dan ritual yang berbeda-beda. Ini adalah contoh Emic bagaimana setiap budaya memiliki kekhasan, sesuatu yang unik yang hanya ada budaya tersebut tentunya perbedaan ini dapat disatukan dengan cara universal etik, sehingga ketemulah teknis dan cara juga metode pelaksanaan di lapangan dengan efektif.

Bagikan :

Tambahkan Komentar